Untuk kita Renungkan

Ekspansi Batik Negeri Panda


Kota Pekalongan, Jawa Tengah, selama puluhan tahun terkenal dengan kerajinan batiknya. Dari kerajinan turun-temurun inilah, puluhan ribu orang mendapat nafkah bagi hidupnya. Menurut data Departemen Perindustrian, pada saat ini di Pekalongan dan beberapa sentra batik lainnya terdapat 48.300 unit usaha rumahan. Sektor ini mempekerjakan 792.300 orang.

Beberapa waktu terakhir ini, pamor batik sedang naik daun. Motif tradisional yang cantik untuk aplikasi pada berbagai jenis pakaian itu sedang menjadi tren yang digemari berbagai kalangan. Batik seolah menjadi dresscode pada acara-acara resmi.
Sayang, kejayaan batik itu tidak sepenuhnya dapat dinikmati para perajin. Pembatik tradisional yang menekuni bidang ini selama puluhan tahun belum sepenuhnya menuai panen, karena batik asal Cina kini menyerbu pasar.

Batik Cina, yang harganya lebih murah daripada batik lokal, kini menyusup ke pusat-pusat perdagangan garmen di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Kedatangan batik asing ini langsung menggerus pangsa pasar batik yang selama ini menjadi tumpuan periuk nasi pengusaha lokal.

Batik impor itu sekarang gampang ditemukan di berbagai pusat perbelanjaan modern ataupun pasar-pasar tradisional. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan di kalangan perajin lokal. “Kami khawatir dengan meluasnya produk batik Cina,” kata Pengurus Paguyuban Kampoeng Batik Kauman, Pekalongan, Elawati.

Menurut pemilik showroom Zend Batik itu, batik Pekalongan terseok-seok membendung ekspansi Cina, karena harga batik lokal tidak lebih murah. Batik Cina, katanya, diproduksi pabrikan besar yang tentu saja operasionalnya lebih efisien, sehingga harga jualnya lebih murah.

Pihak Paguyuban Kampoeng Batik Kauman mengklaim, di pusat-pusat penjualan garmen di Jakarta, seperti Pasar Tanah Abang, transaksi produk batik Cina mencapai Rp 300 juta sampai Rp 500 juta per hari. Angka ini jauh melampaui penjualan produk lokal yang hanya Rp 150 juta per hari. “Kami harus bersaing ketat karena batik Cina tidak kalah menarik dan modelnya lebih bagus,” katanya. Elawati, yang memiliki industri batik tulis dengan tenun tangan, mengungkapkan bahwa serbuan itu sulit ditahan, karena pengusaha lokal baru saja terpukul kenaikan harga bahan baku dan bahan bakar minyak.

Sejak beberapa tahun lalu, produk garmen asal Cina diimpor ke Indonesia dalam jumlah besar. Serbuan produk garmen itu awalnya tidak terlalu mengkhawatirkan, karena mereka bersaing apple to apple dengan produsen lokal dengan skala industri yang daya saingnya sudah kuat. Namun, dalam tiga tahun terakhir, importir mendatangkan pakaian batik berbagai motif. Ini menjadi biang masalah, karena selama ini batik merupakan pangsa pasar milik pengusaha kecil dan menengah.

Menurut catatan Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM), Departemen Perindustrian, kini ekspansi batik Cina menggerogoti 10% pangsa pasar batik lokal. Nilai kapitalisasi produksi batik nasional pada saat ini sekitar Rp 2,9 trilyun. Selama tiga tahun terakhir, angka itu terus terdistorsi akibat menyusupnya produk serupa buatan “negeri panda” itu.

Tahun ini saja, penetrasi batik Cina diperkirakan mencapai Rp 290 milyar. Dirjen IKM, Fauzi Aziz, menuturkan bahwa produk asal Cina langsung mendapat sambutan konsumen karena model dan motifnya akrab di mata masyarakat. Padahal, batik Cina sebenarnya berupa kain biasa yang dicetak bercorak batik. “Itu bukan batik tulis hasil kerajinan tangan,” katanya. Ini berbeda dari kebanyakan batik di Indonesia yang bahannya ditenun dengan tangan, batiknya ditulis atau dicap, dan mengandung nilai tradisional.

Produk batik asal Cina disinyalir masuk pelabuhan Indonesia secara ilegal, mengingat harganya yang jauh lebih murah daripada produk serupa buatan dalam negeri. Harga gaun atasan model blus dari Pekalongan, misalnya, Rp 60.000, sedangkan produk asal Cina yang kualitasnya sepadan hanya Rp 50.000.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ernovian G. Ismy, menduga produk batik asal Cina itu masuk tanpa pajak. “Cina bukan produsen kapas unggulan, mengapa harganya bisa jauh lebih murah? Ini pastinya ilegal,” ujarnya. Logikanya, bila melalui jalur resmi, komoditas semacam itu akan dibebani pajak 27,5% dan biaya transpor yang cukup signifikan. Maka, harganya pun akan sepertiga kali lebih mahal. Pada saat ini, katanya, produk garmen impor Cina dikenai tarif bea masuk 15%, ditambah PPN 10% dan PPh 2,5%. Total pajak yang harus mereka bayar adalah 27,5%.

Atas kedatangan tamu tak diundang itu, Departemen Perindustrian melayangkan surat resmi ke Departemen Perdagangan untuk menindaklanjuti fenomena ini. Tujuannya, agar dilakukan pengawasan lebih ketat atas arus masuk produk garmen Cina dan langkah-langkah yang berpihak pada UKM batik.

Namun, bagi pedagang, serangan batik asal Cina itu tidak menjadi masalah. Seorang pedagang batik di Pasar Tanah Abang, Widyasari, mengaku bahwa keuntungannya justru lebih tinggi dengan adanya batik Cina. Ketika ditemui Gatra, pemilik stan di Blok D itu mengungkapkan, batik Cina diperdagangkan dengan berbagai motif dan kualitas. Harganya mulai Rp 30.000 sampai ratusan ribu per potong. Ia mengaku setiap hari bisa melepas puluhan potong pakaian batik berbagai jenis. “Saya menjual mana saja yang disukai pembeli,” katanya.

Dari batik Cina, ia mengaku bisa menangguk untung Rp 5.000 sampai Rp 10.000 per potong. Sedangkan dari batik lokal, paling tinggi hanya Rp 7.000. Kemeja pria produk Cina, misalnya, bisa dilepas seharga Rp 70.000, dengan keuntungan rata-rata sekitar 15%. Sedangkan untuk produk lokal, bila ia melepas dengan harga yang sama, keuntungannya paling tinggi hanya 10%.

Namun, di sentra-sentra perdagangan batik di Pekalongan, serbuan itu belum terasa. Ahmad Latif, pemilik kios di Pusat Grosir Setono, Pekalongan, mengatakan bahwa produk Cina tidak mengganggu omset penjualannya. Sebab kios-kios di Pekalongan punya hubungan erat dengan perajin lokal sejak dulu. Bahkan sebagian pemilik kios juga menjadi pemilik industri kerajinan batik. Menurut Latif, selama ini permintaan batik Pekalongan dari luar kota, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang, masih cukup tinggi. “Kami belum merasakan dampaknya,” tutur Latif.

Dari segi kualitas, produk Cina tidak lebih buruk daripada buatan lokal. Secara fisik, batik Cina sulit dibedakan dari batik tradisional. Produk Cina juga menggunakan motif khas tradisional, seperti parang, ceplok, dan merak. Inilah jawaban mengapa pembeli tidak pilih-pilih.

Keresahan para perajin itu sudah sampai ke pemerintah. Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, beberapa waktu lalu mengimbau pihak-pihak terkait, khususnya Bea dan Cukai, untuk mencegah masuknya batik dari negeri lain yang dinilai ilegal itu.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri, Rahmat Gobel, punya sudut pandang berbeda. Ia menilai, batik Cina melabrak karya cipta intelektual bangsa. Ini bisa menjadi pintu masuk untuk memasalahkan produk tersebut. “Mereka jelas melanggar hak cipta. Itu sangat berbahaya karena desain batik merupakan industri berbasis budaya,” ia menegaskan.

Rahmat menyatakan, sudah saatnya pemerintah bertindak tegas dengan memperketat jalur masuk barang impor. Selain itu, Rahmat juga meminta pemerintah secepatnya mematenkan desain batik Indonesia, jangan sampai didahului orang asing.

Batik merupakan kesenian tradisional yang mengiringi perkembangan Kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Dalam beberapa literartur disebutkan, pada masa lalu batik dikembangkan keluarga keraton Majapahit, Mataram, dan Surakarta Hadiningrat.

Teknik tulis menjadi mainstream pembuatan kerajinan ini di Indonesia sampai awal abad ke-20. Batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920. Sekarang ini, berkembang juga teknik cetak sablon.

Perjalanan seni batik terkait dengan penyebaran ajaran Islam. Pada saat itu, batik dijadikan alat perjuangan ekonomi oleh para tokoh pedagang muslim untuk melawan perekonomian Belanda. Pada masa Orde Lama, industri batik dikuasai kaum santri yang tergabung dalam Sarekat Islam serta ormas-ormas semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Bekas-bekas pabrik batik milik Sarekat Islam kini masih ada di Pekalongan, Ponorogo, dan Solo.

Dari kerajinan yang berkembang di berbagai tempat itu, muncul motif-motif tradisional yang sampai kini menjadi pakem corak batik yang umum. Misalnya ceplok mendut, parang klitik, nogosari, truntum delomo, dan gabah sinawur. Motif-motif itu merupakan hasil karya kebudayaan yang tidak diketahui penciptanya.

Pada masa lalu, orang membatik dengan bahan-bahan pewarna alami, seperti air mengkudu, tinggi, soga, dan nila. Sodanya dibuat dari abu dan lumpur.

Mujib Rahman
[Ekonomi, Gatra Nomor 46 Beredar Kamis, 25 September 2008]

Leave a comment